IMPLIKASI KEWENANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013

Authors

  • A. A. Rajab Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bosowa
  • Marwan Mas Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bosowa
  • Abd. Haris Hamid Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bosowa

DOI:

https://doi.org/10.35965/ijlf.v5i2.2613

Keywords:

Implikasi Kewenangan, Kewenangan Pengalihan Penyelesaian, Sengketa Hasil Pilkada

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi kewenangan komisi pemilihan umum kepala daerah pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 97/Puu-Xi/2013. Dan mengetahui mekanisme penanganan perkara penyelesaian hasil pemilihan kepala daerah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/Xl/2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris dan data yang digunakan adalah data hukum Primer, sekunder dan tersier. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif agar mudah dipahami dalam menguraikan masalah Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lembaga yang dianggap paling tepat menangani sengketa Pilkada adalah Mahkamah Agung dengan mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi di tiap-tiap daerah. Jika pihak yang berperkara tidak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi maka, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Sementara UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, masih menyerahkan kepada Mahkamah Konstitusi (meski sifatnya sementara) untuk menyelesaikan sengketa Pilkada. Untuk itu, perlu segera dibentuk peraturan perundang• undangan yang mengatur mengenai Lembaga mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa Pilkada. Serta kesesuaian antara putusan MK tersebut dengan prinsip Negara Hukum yakni telah sesuai, dilihat dari bagai mana MK memberikan kepastian hukum terhadap proses pnyelesaian sengketa tersebut, yakni dalam amar putusan MK tersebut dicantumkan bahwasannya MK tetap berwenang menangani. Mahkamah menilai pengalihan kewenangan untuk mengadili dan memutus perselisihan hasil perolehan suara dalam Pemilu Kepala Daerah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, tidak dapat dipandang hanya sebagai pengalihan kewenangan institusional atau kelembagaan belaka, akan tetapi pengalihan itu memiliki implikasi yang luas berkenaan dengan fungsi dan tugas dari Mahkamah sebagai peradilan konstitusi untuk menjaga konstitusi.

This study aims to analyze the implications of the authority of the regional head general election commission after the constitutional court decision number 97/Puu-Xi/2013. And knowing the mechanism for handling cases for the settlement of regional head election results after the Constitutional Court decision Number 97/PUU-Xl/2013. The research method used is empirical juridical research method and the data used are primary, secondary and tertiary legal data. The data were analyzed in a qualitative descriptive manner so that they are easy to understand in describing the problems. The institution considered most appropriate to handle regional election disputes is the Supreme Court by delegating it to the High Court in each region. If the litigants are not satisfied with the decision of the High Court, they can submit an objection to the Supreme Court. While Law no. 1 of 2015 concerning the Election of Governors, Regents and Mayors, it still leaves it to the Constitutional Court (although it is temporary) to resolve Pilkada disputes. For this reason, it is necessary to establish laws and regulations that regulate which institutions are authorized to resolve regional election disputes. And conformity between the Constitutional Court's decision and the principles of the rule of law, namely that it is appropriate, seen from how the Constitutional Court provides legal certainty to the dispute resolution process, namely in the Constitutional Court's decision it is stated that the Constitutional Court still has the authority to handle matters. The Court considers that the transfer of authority to adjudicate and decide on disputes over the results of vote acquisition in the Regional Head Election from the Supreme Court to the Constitutional Court, based on Article 236C of Law Number 9 of 2015, cannot be seen only as a mere transfer of institutional or institutional authority, but that transfer has broad implications regarding the functions and duties of the Court as a constitutional court to safeguard the constitution.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Abd. Haris, Hamid. 2017. Hukum Perlindungan Konsumen. Makassar: CV Sah Media Indonesia.

Abu Nashr Muhammad Al-Iman. 2004. Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Jakarta, Prisma Media.

Cakra Arbas. 2012. Jalan Terjal Calon Independen pada Pemilukada di Provinsi Aceh, Jakarta; Sofmedia.

Dahlan Thaib. 2009. Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional. Yogyakarta: Total Media.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum diakses tanggal 2 Januari 2023.

http://www.gresnews.com/berita/politik/230281-sejumlah-pasal-uu-Pilkada-bertentangan-putusan-mk/, diunduh 10 Januari 2023.

Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP.

Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Jimly Asshiddiqie. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Jimly Asshiddiqie. 2013. Pengantar Ilmu HTN. Jakarta: Raja Grafindo Merdeka.

Mas Marwan. 2012. Pengantar ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mas Marwan. 2017. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ni’matul Huda. 2007. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.

Rozali Abdullah. 2009. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sholikhin, M. Nur, “Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Agung”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2014

Suharizal. 2011. Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Titik Triwulan T. dan H. Ismu Gunadi Widodo. 2003. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum pada Pasal 5 ayat (1) bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota bersifat hierarki.

Yuddin Chandra Nan Arif, Komisi Pemilihan Umum sebagai Komisi Negara Independen (independent regulatory agencies), diunduh pada http:// republikycna.weebly.com/ pada 15 Januari 2023.

Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dan Mekanisme Penyelesaiannya, Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, halaman 44.

Zaenudin Ali. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Sinar Grafika.

Downloads

Published

2023-06-30

How to Cite

Rajab, A. A., Mas, M., & Hamid, A. H. (2023). IMPLIKASI KEWENANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013. Indonesian Journal of Legality of Law, 5(2), 384–392. https://doi.org/10.35965/ijlf.v5i2.2613

Most read articles by the same author(s)

1 2 3 4 5 6 > >>