ANALISIS PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DOI:
https://doi.org/10.35965/ijlf.v3i1.584Keywords:
Pembuktian Terbalik, Tindak Pidana, KorupsiAbstract
Korupsi sebagai salah satu kejahatan yang bersifat luar biasa (Extra Ordinary Crime) dikarenakan begitu sulit dalam membuktikan kejahatan tersebut oleh penegak hukum, maka dari itu dibutuhkan kinerja extra untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Olehnya itu, mengenai pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang Undang hal itu diterapkan dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana beberapa pasalnya menganut tentang sistem pembuktian terbalik terbatas/berimbang. Pasal pasal yang mengatur tentang sistem pembuktian terbalik lebih jelas diatur dalam Pasal 12B, 12C, 37A, 38A, dan 38B. Pemberlakuan sistem pembuktian terbalik dalam perkara delik korupsi terhadap terdakwa meskipun hanya terbatas pada perkara suap (Gratifikasi) di atas Rp. 10 jt. Namun dengan adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan delik korupsi yang didakwakan kepadanya serta harta benda yang patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi dan tidak bertumpuh lagi kepada jaksa penuntut umum, maka diharapkan dapat menjadi solusi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut sebab perampasan terhadap harta benda terdakwa dapat dilakukan jika terdakwa tidak dapat membuktikan delik korupsi yang didakwakan kepadanya.
Corruption is one of extraordinary crimes because it is so difficult in proving these crimes by law enforcement, and thus it requires extra performance to eradicate corruption. Therefore, regarding the eradication of corruption by using the provisions contained in the Law, this is applied in Law Number 31 Year 1999. Law Number 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime, in which several articles adhere to a reversed proof system is limited/balanced. Articles governing the reverse proof system are more clearly regulated in Articles 12B, 12C, 37A, 38A, and 38B. The implementation of the reversed proof system is in the case of corruption offenses against the defendant even though it is only limited to bribery cases (Gratification) over Rp10 million. However, with the defendant's obligation to prove the corruption offense charged with him and property that is reasonably suspected of originating from criminal acts of corruption and no longer rests on the public prosecutor, then it is expected to be a solution in eradicating these criminal acts of corruption because the confiscation of the assets of the defendant can be done if the defendant cannot prove the corruption offense charged with him.
Downloads
References
Ardi Ferdian, Arena Hukum Volume 6, Nomor 3, Desember 2012.
Azis, A. A., Renggong, R., & Siku, H. A. S. (2019). Implementasi Syarat Tambahan Untuk Memperoleh Pembebasan Bersyarat Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Makasssar. Indonesian Journal of Legality of Law, 1(2), 01–06. https://doi.org/10.35965/ijlf.v1i2.230
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kliitgaard, R. (2005). Controlling Coruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan Membasmi Korupsi, Cet. 2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Lawyer Commitee for Human Right, 1997 Amnesti Internasional, Fair Trial s Manual, London, 1998.
Mas, M. (2014). Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ghalia Indonesia: Makassar.
Nugroho, H. (2012). Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Media Prima Aksara: Jakarta.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.